Baca Full Novel: Semua Berbeda Saat Kau Mencintaiku by Nonna Belinda
Bella: “Gak tau ya. Gue emang gak tertarik sama cowok yang lebih tua daripada gue. Beda aja gitu rasanya. Berasa jalan sama abang sendiri.”
Agam: “Di itu tidak pantas untuk dijadikan kekasih. Dia lebih pantas jadi adik saya. Lagipula dia bukan tipe wanita yang saya suka.”
Sama-sama menolak, tapi akhirnya jadi saling cinta? Ada gak sih cerita cinta yang kayak gitu? Jawabanya adalah banyak! Salah satunya adalah cinta Sabella untuk Agam.
Perbedaan usia yang cukup jauh membuat mereka berdiri pada benteng mereka masing-masing untuk saling mempertahankan ego.
Seperti pada umumnya, cerita cinta klasik seperti ini berakhir pada cinta yang saling menyatukan di antara mereka berdua. Merobohkan benteng keegoisan mereka masing-masing dan meleburnya jadi satu.
Sabella tak bisa hidup tanpa Agam.
Dan Agam tak bisa bernafas tanpa Bella.
Namun bagaimana jika takdir berkata lain?
Bagaimana jika ceritanya dibalik menjadi sama-sama cinta tetapi tak bisa saling menyatu?
Apakah mereka akan tetap bertahan meski jalan yang mereka lalui begitu terjal dan menyakitkan?
Bab 1
INIKAH RASANYA?
"Kamu bisa gak, gak panggil saya Pak?"
Aku tersentak dari lamunanku saat akhirnya kulihat mata cokelat itu membulat memandangku dengan tatapan sinis!
Mata cokelat itu seperti mau mengulitiku! Entah apa yang telah merasukinya malam ini sehingga dia bisa berlaku demikian padaku?
"Dia sebenarnya kenapa, ya? Akhir-akhir ini, kelakuannya aneh banget! Batinku dalam hati.
Dia terus menatapku tanpa mau menundukkan pandangannya sedikitpun. Banyak hal yang menjadi tanda tanya bagiku malam ini.
Salahkah aku karena memanggil sapaan, Pak padanya yang berstatus sebagai atasanku, yang kebetulan usianya beda lima belas tahun dari diriku?
"Terus kalau bukan Pak, mau dipanggil apaan? Mas? Mas Agam? Kok, geli ya? Gak sopan gitu rasanya."
Aku memaksa untuk menghadirkan seulas senyum untuk sekedar mencairkan suasana di dalam mobil yang telah berubah menjadi canggung.
Aku mencoba untuk tak menggubrisnya secara serius. Lain halnya dengan Agam yang mulai mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih serius dari sebelumnya.
"Gak sopan gimana?" tanya Agam dengan nada datar.
Agam mulai menggeser tubuhnya. Memosisikan tubuhnya untuk sejajar denganku.
"Jelasin!” katanya dengan nada nyolot seperti biasanya.
Kutarik nafas dalam-dalam sebelum kulontarkan kata-kata untuk menyakinkan dirnya bahwa aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin bersikap sopan padanya. Itu saja, titik!
"Bapak kan, lebih tua dari saya. Jadi gak mungkin, kalau saya panggil Bapak dengan panggilan, Mas. Apalagi Bapak kan, levelnya jauh di atas saya. Gak enak. Gak sopan pokoknya."
"Tua?"
Dia hanya merespon penjelasan diplomatisku dengan satu kata.Tua.Itu saja. Nada dan raut bicaranya sungguh tidak membuat jiwa merasa aman dan tentram.
"Aduh! Salah ngomong lagi dah gue!" sesalku dalam hati.
Sepertinya dia tersinggung dengan kata-kataku. Hal ini terlihat dari raut wajahnya yang terlihat seperti sedang memendam kekesalan yang mendalam.
Dia mendecakkan lidahnya sambil sedikit membuang muka. Walau pada akhirnya dia kembali menatapku lagi.
"Kenapa sih, kalau kamu bicara sama saya, selalu bawa-bawa soal usia?"
"M-maaf, Pak. Saya gak bermaksud buat... "
"Memangnya usia itu penting ya, dalam menjalin sebuah hubungan?"
Nafasku tercekat mendengar sebuah premis yang baru saja dia katakan sedetik yang lalu.
"Menjalin sebuah hubungan? Tunggu dulu! Hubungan apaan, nih?" kataku dalam hati. "Oh, mungkin maksudnya hubungan kerja kali, ya?" jawabku sendiri.
Saat itu, aku masih mencoba berpikir dengan menggunakan logika yang memang masih jernih, sejernih mata air pegunungan.
Tetapi, aku tak bisa membohongi perasaanku malam itu. Aku tak sanggup lagi menatap matanya. Kutundukkan pandanganku dari pandangannya. Kumainkan jari-jemariku karena gugup ditatap terus menerus seperti itu!
Jangan salahkan aku yang jadi salah tingkah malam ini. Bagaimana bisa tak berlaku salah tingkah?
Bisakah kalian jelaskan padaku, rasanya ditatap pria dewasa yang kebetulan wajahnya tampan, dengan jarak dekat seperti film romantis yang suka tayang di stasiun televisi? Salting gak, tuh? Pastilah! Pasti salting.
"Sekarang, coba kamu lihat saya! Jangan nunduk! Kamu kenapa sih? Kayak lihat hantu aja.”
Dia kembali mengagetkanku dengan menyuruhku untuk kembali menatapnya. Dengan sangat terpaksa, kunaikan wajahku untuk kembali menatap wajahnya. Dan...
"Astaghfirullahaladzim!''
Jantungku seakan berhenti berdetak saat wajahnya kini hanya berjarak beberapa inchi saja dari wajahku!
Bahkan lebih dekat dari sebelumnya! Saking dekatnya, hembusan nafas dan harum tubuhnya yang khas dengan wangi yang begitu maskulin jelas bisa dirasakan.
Untuk sepersekian detik, waktu seakan berhenti berputar malam itu. Kali ini sepertinya laki-laki ini memang ingin membuktikan ketampanannya padaku dengan mendekatkan wajahnya pada indera penglihatanku.
Sketsa wajah tampannya terlihat jelas malam ini. Dua bola mata cokelat yang mirip dengan milikku itu, benar-benar membuatku kaku! Tak bisa membuatku untuk beranjak sedetikpun dari tempatku saat ini.
Agam adalah satu-satunya pria yang masih lajang di pabrik tempat aku bekerja untuk level manajer. Hanya Pak Agam!
Walaupun Alvin pun kini melajang, tapi seantero pabrik belum tahu bahwa ia sudah putus dengan tunangannya. Jadi label pria lajang masih ada pada diri Agam.
Namun karena sifat Agam yang terlalu perfeksionis, membuat hampir seluruh wanita menyerah sebelum berperang untuk mendekatinya.
"Gue akui, Pak Agam tuh, cowok paling ganteng di pabrik. Apalagi penampilannya sekarang udah gak kuno kayak dulu. Tapi tetap saja. Angka yang melekat pada usianya gak bisa ngilangin kenyataan bahwa sejatinya dia itu lebih tua daripada gue!" kataku dalam hati. "Dia ketuaan buat gue! Berasa jalan sama abang sendiri!"
Aku tetap dalam prinsipku malam ini. Tidak akan memberi hati pada seseorang yang usianya jauh di atasku. Walau dia tampan sekalipun. Tetapi, ini adalah pengalamanku yang pertama!
Berduaan dengan seorang laki-laki dengan jarak sedekat ini benar-benar membuatku hampir menjadi gila! Karena tak tahu mengapa, pandanganku jadi beralih pada bibir tipis milik Agam yang terlihat lembab dan mengesankan itu!
Mungkin karena kebanyakan nonton drakor aku jadi berkhayal yang tidak-tidak.
"Bel? Sadar Bel! Sadar! Bukan muhrim lo!" batinku bergejolak!
Aku menyerah! Rasanya ingin kabur dari dalam mobil secepat mungkin. Namun sepertinya hujan lebat memang sengaja memaksaku untuk tetap berada pada situasi yang kurang menyenangkan seperti ini.
Tak bisa dipungkiri lagi, laki-laki bernama lengkap Lagam Bagaskara Soetta itu telah membuat sebuah rasa berdebar yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
"Apa saya memang terlihat tua di mata kamu? Saya harus gimana lagi, supaya tak kelihatan tua di mata kamu?"
Laki-laki itu seperti sengaja mempertontonkan karismanya di depanku! Dia sepertinya tahu bahwa aku beralih pandang pada bibirnya tadi.
Aku memang telah terpesona oleh ketampanannya. Dia bertanya seolah dia pun tak tahu jawabannya. Aku tahu, Agam hanya berupaya membuatku semakin terpojok.
"Dia kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba kayak gini? Iya tau, lo itu emang keren. Tapi, please! Gak usah pamer deh! Kesel gue jadinya!"
Aku kembali menggerutu dalam hati. Aku tak berani mengungkapkan isi hatiku pada pak manajer yang seringkali memarahiku, meneriakiku dengan kata-kata pedas setiap harinya sampai telingaku seperti terbakar dengan sempurna.
"Kok gak jawab? Saya itu nanya sama kamu!"
"Saya harus jawab?"
"Gak usah!"
"Lho?"
"Saya keburu jengkel!" Agam mendengus kesal.
"Pak Agam maunya apa sih?!"
Aku mulai terpancing dan menjadi ikutan kesal. Karena itu, aku pun ikut mengoceh untuk melampiaskan kekesalanku.
"Saya bener-bener gak tau, kenapa bapak bersikap aneh akhir-akhir ini? Sering uring-uringan gak jelas, padahal saya gak pernah buat kesalahan lagi di tempat kerja! Saya gak pernah masuk telat dan gak pernah bolos kerja. Terus, salah saya di mana?"
Mata Agam membulat sempurna. Di sudut bibir kirinya terlihat senyum yang terasa sangat dipaksakan.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti heran pada pidato singkat yang barusan aku bacakan spesial hanya untuknya.
Dia seperti keheranan setengah mati karena tak percaya, aku berani menentangnya malam ini.
"Kamu tuh, benar-benar gak peka, ya? Kamu itu belagak polos atau sengaja mau mengabaikan saya?"
"Mengabaikan bapak gimana sih, maksudnya? Mana berani saya mengabaikan bapak? Saya gak pernah mengabaikan bapak sekalipun. Saya selalu datang kalau Pak Agam panggil. Saya selalu menuruti perintah bapak.”
“No. Kamu tidak seperti itu.”
Aku mengernyitkan dahi secara spontan, tak mengerti maksud dan tujuan perkataannya.
“Kamu tidak pernah mendengarkan saya. Saya suruh kamu untuk tidak pergi nonton bareng Alvin, tapi kamu malah membelikannya tiket nonton."
"I..itu karena..."
"Saya gak mau tahu, saya gak mau dengar alasan kamu lagi. Kamu mau tahu, kesalahan kamu di mana?"
Nada bicaranya masih meninggi setinggi pohon kelapa muda. Dia tak membiarkanku menjelaskan sesuatu hal yang sepele. Terbesit secara mendadak semua pekerjaan yang kukerjakan kemarin.
"Aduh! SOP yang gue kerjain kemarin, perasaan udah bener deh? Dokumen sampel yang dia minta juga udah gue simpen di mejanya. Apa dokumennya hilang, gara-gara gak gue masukin ke dalam map?Amsyong!" kataku dalam hati.
Segala cela yang berpotensi menimbulkan kesalahan, segera memenuhi isi otakku! Berkumpul jadi satu dan membuatku merasa pusing tujuh keliling!
Aku kembali menundukkan pandangan mataku, namun dia dengan cepat meggeser wajahku dengan sentuhan tangannya yang mendarat pada daguku! Debaran di dada seperti bergemuruh saat tangannya menyentuh wajahku.
"Maaf, Pak Agam. Dokumen sampelnya, hilang ya? Besok saya cari lagi, ya. Saya sudah simpan dokumen itu di meja bapak kemarin sore. Tapi memang saya tidak menggunakan map untuk membungkusnya. Sepertinya dokumennya terselip dengan dokumen lainnya."
Dengan gugup dan bahasa baku, aku mencoba meyakinkan Agam agar dia tak marah padaku.
"Enggak, kok. Enggak hilang. Dokumennya ada sama saya. Tapi kamu benar. Kamu memang telah menghilangkan sesuatu, milik saya."
"A-apaan, Pak?"
Mataku membulat sambil kembali menerka perkataan yang akan meluncur dari mulutnya.
"Yang hilang itu, hati saya. Kamu sudah berhasil mencuri hati saya."
Aku terdiam bagai es malam itu. Suara bising lalu lintas padat di kota Bogor malam itu serasa tak bisa memecah keheningan antara aku dan Agam. Mata kami sama-sama bertemu di udara sejenak.
Perutku kembung dan tanganku berkeringat karena suhunya menurun drastis. Banyak kata yang tak bisa diucapkan secara gamblang malam itu.
Aku tak bisa lari lagi dari kenyataan bahwa tak hanya hatinya yang hilang. Tapi milikku juga. Tanpa sadar, hatiku pun telah ia rebut malam itu.
"Sabella..."
"Iya, Pak."
"Please, Agam saja."
"A- Ag, hum... Agam."
Dengan bibir kelu aku terpaksa menuruti keinginannya. Memanggil namanya tanpa embel-embel apapun.Tanpa kusadari, Agam tersnyum manis ke arahku. Tersenyum manis!
Ini adalah kali pertama bagiku melihatnya mengulas sebuah senyum.Dia bukan laki-laki yang sering berbagi senyum. Entah apa yang terjadi pada masa kecilnya sehingga dia tumbuh menjadi laki-laki yang dingin dan tak pernah mengenal senyum.
Namun malam ini tatapannya berbeda dari biasanya. Tatapan dingin itu berubah menjadi tatapan hangat dan menyentuh. Kembali dia mendekatkan wajahnya ke wajahku yang sudah berubah warna menjadi bersemu merah.
"Pakai kata Mas, juga tidak apa-apa."
Entah racun apa yang dia di dalam senyumannya itu! Wajahku semakin memerah karena menahan malu dibuatnya. Aku kembali menunduk namun dia dengan cepat kembali meraih daguku kembali dan mengarahkan wajahku hingga sejajar dengan wajahnya.
"Maaf, Sabella. Kupikir, aku mulai menyukaimu."
Dia melakukan sesuatu yang tak pernah kuduga sama sekali! Dia membenamkan bibir penuh pesonanya pada bibirku.
Seketika nafasku tercekat dan mataku tak bisa ikut terpejam seperti mata miliknya. Inikah rasanya berc*uman dengan seorang laki-laki?
Jika anda tertarik anda bisa membacanya secara gratis di aplikasi fizzo "Dengan mengetik judul novel diatas:
Membaca, menyebarkan dan membeli ebook ilegal dapat membunuh penulis.
Post a Comment
Post a Comment