MENGEJAR CINTA KELUARGA PILIH KASIH (Baca Full)
Fandi tersenyum tipis setelah melihat uang yang Ruben kirimkan padanya hasil dari usaha Kafe yang mereka kelola berdua.
"Ibu ke sini mau minta tolong sama Maura nanti untuk bantu cuci baju lagi di rumah. Kaki Ibu lagi sakit jadi gak bisa kerjakan sendiri. Mesin cucinya juga masih rusak. Kamu gak keberatan 'kan, Ra?" tanya Lastri.
"Tapi Maura 'kan lagi hamil, Bu. Nanti kalau terlalu capek takut terjadi sesuatu sama kandungannya," sahut Fandi.
"Kamu gak izinkan dia bantuin Ibu? Tega kamu, Fan, kalau Ibu sakit karena ngerjakan tugas rumah sendiri! Lagi pula nanti kalau Ayu udah nikah sama Dion, Ibu gak akan minta tolong Maura lagi karena ada Ayu yang akan bantu Ibu," ujar Lastri sambil menunjuk ke arah Fandi dan Maura bergantian.
"Gak apa, Mas. Biar aku bantuin Ibu. Kasihan kalau gak dibantu," potong Maura yang tak ingin Fandi terus berdebat dengan mertuanya.
"Tapi Mas khawatir sama kandungan kamu, Dek," ucap Fandi sambil menatap lekat ke arah Maura.
"Memangnya mesin cucinya kenapa sih, Bu? Masih bisa diperbaiki apa gak? Kalau bisa diperbaiki, mending dibawa ke tukang service aja. Nanti biar Fandi yang bawa ke sana. Hari ini biar cucian Ibu dibawa ke tukang laundry aja. Biar Fandi yang bawa sekalian berangkat kerja," sambung Fandi.
"Apa? Kamu minta Ibu nyuci ke laundry cuma karena gak mau Maura capek? Emang kamu yang mau bayarin? Punya uang berapa kamu sampai mau bayarin cucian Ibu di laundry?" sungut Lastri.
"Fandi punya kalau cuma buat bayarin cucian aja. Ibu siapkan aja dulu cuciannya. Nanti biar Fandi ambil ke sana," ucap Fandi.
"Dasar terlalu memanjakan istri. Lama-lama kamu dijadikan keset sama istrimu!" Lastri yang merasa kesal akhirnya berlalu meninggalkan rumah Fandi.
Maura nampak tak berselera melanjutkan sarapannya. Dia hanya terdiam, namun dalam hatinya dia merasa senang karena Fandi telah membelanya di depan mertuanya itu.
"Jangan terlalu dipikirkan ucapan Ibu tadi. Yang penting kamu jangan terlalu capek dan jangan sampai stress karena gak baik buat kandungan kamu, Dek," ucap Fandi.
"Iya, Mas," balas Maura singkat.
"Ya udah, habiskan dulu sarapannya. Ohh ya, nanti Mas pulang telat. Mau bantu-bantu di Kafe Ruben dulu. Bulan lalu dia habis buka cabang, jadi di Kafe yang baru kekurangan orang karena belum ada yang melamar ke sana," ucap Fandi.
"Iya, Mas. Jangan terlalu larut pulangnya," ucap Maura.
"Iya, Mas gak akan pulang sampai jam 9 malam. Sebelum jam 9, Mas, sudah ada di rumah," ujar Fandi.
Setelah selesai sarapan, Fandi segera pamit untuk berangkat kerja. Dia masih harus mengambil cucian ke rumah Lastri untuk dibawa ke tempat laundry.
"Mas berangkat dulu, Dek. Baik-baik di rumah," pamit Fandi sambil mengulurkan tangannya.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan," balas Maura sambil menyambut uluran tangan dari Fandi dan diciumnya punggung tangannya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Fandi berangkat dengan sepeda motor maticnya. Dia menuju rumah lastri terlebih dahulu sebelumnya.
Di depan rumah, Lastri sudah menunggu Fandi dengan dua kresek besar berisi pakaian kotor miliknya, Dion dan Herman–Bapak Fandi.
"Sebanyak ini, Bu?"
"Iya, emang banyak. Makanya Ibu minta bantuan istri kamu. Kenapa? Kamu gak sanggup 'kan bayarin ongkos laundry cucian Ibu segini banyak."
"Fandi bayar semuanya. Ibu gak usah khawatir."
'Lebih baik aku keluarkan uang untuk laundry dari pada Maura harus nyuci sebanyak ini. Belum lagi cucian di rumah,' batin Fandi.
Segera dia angkat dua kresek cucian itu ke atas motornya. Satu kresek ditaruh di depan dan satu lagi ditaruh dibelakang. Untungnya tempat laundry tidak begitu jauh dari sana.
"Ya udah, kalau gitu Fandi berangkat dulu, Bu," pamit Fandi. Dia mengulurkan tangannya bermaksud ingin mencium tangan Ibunya sebelum berangkat.
Namun tiba-tiba dari dalam terdengar suara tertawa diiringi derap kaki seseorang yang akan keluar rumah.
"Loh, ada Mas Fandi. Tumben pagi-pagi di sini," sapa Dion yang baru keluar dari dalam rumah.
"Ini tadi Ibu mau nyuruh Mbak Maura bantuin nyuci malah sama Mas-mu disuruh ke laundry aja. Dia yang mau bayarin," sahut Lastri.
"Wiihh, banyak duit kayaknya sampai mau bayarin ongkos laundry," ucap Dion sambil tertawa mengejek.
"Emang berapa sih gajinya buruh? Paling juga masih banyakan gaji karyawan di Resto kita, Dion," sahut Herman.
"Alhamdulillah Fandi habis dapat rejeki walaupun gak banyak. Jadi gak apa biar Fandi bayarin ongkos laundry Ibu kali ini dari pada Ibu dan Maura harus capek nyuci," ujar Fandi.
"Istri jangan terlalu dimanja, Fan. Orang hamil juga gak baik kalai jarang gerak. Harus banyak gerak biar lahirannya lancar," ucap Lastri.
"Iya, Bu. Fandi tahu. Tapi bukan maksud Fandi manjain Maura. Dia dirumah juga banyak ngerjain pekerjaan rumah," ujar Fandi.
"Ya sudah, Fandi berangkat kerja dulu takut terlambat," sambungnya.
Setelah berpamitan pada Lastri dan Herman, Fandi bergegas melajukan motornya menuju tempat laundry. Sebelum perbincangan semakin lebar, dia memilih untuk menghindar.
*****
Sesampainya di tempat kerja, Fandi bekerja dengan sangat giat. Dia disiplin dan pekerja keras. Tahun ini dia sudah diangkat sebagai pegawai tetap di pabrik tempatnya bekerja.
Tahun ini merupakan tahun yang cerah untuk Fandi karena selain diangkat sebagai pegawai tetap, usaha Kafenya yang diam-diam dikelola bersama Ruben semakin rame pengunjung hingga membuka 1 cabang lagi di dekat alun-alun kota.
Usahanya itu tidak diketahui oleh keluarga maupun istrinya. Dia sengaja merahasiakannya karena tidak ingin semakin dihina. Tapi bukan berarti dia tidak mempercayai istrinya, hanya saja dia takut Maura akan melarangnya karena modal awalnya dia dapatkan dari hasil menggadaikan BPKB motornya.
Pukul 16.00 Fandi pulang dari tempat kerjanya, lalu dia segera melajukan motornya menuju Kafe barunya di dekat alun-alun Kota.
Sesampai di Kafe, Ruben tengah duduk di meja kasir. Dia sibuk melayani pembayaran dari pengunjung yang lumayan banyak.
Fandi pun segera menghampiri Ruben dan berniat membantunya.
"Kamu duduk dulu aja, Fan. Pasti capek 'kan baru pulang kerja. Habis ini aku nyusul, kamu masuk aja ke ruangan belakang," ucap Ruben. Dia menolak bantua dari Fandi dan memilih menyelesaikan pekerjaannya sendiri.
"Kalau udah selesai cepet nyusul ke belakang ya," ucap Fandi sambil menepuk bahu Ruben.
"Oke, beres," balas Ruben.
Bekerja sebagai Helper dipabrik memang cukup melelahkan. Fandi tak pernah mencoba bersantai-santai seperti beberapa rekannya selain saat jam istirahat.
Di ruangan khusus yang di siapkan untuk karyawan, Fandi menyandarkan tubuhnya pada sofa yang ada di sana.
Salah satu waitress masuk ke dalam untuk mengantarkan makanan dan minuman dingin untuk Fandi.
"Pak, silahkan ini makanan dan minumannya," ucap Waitress tersebut.
"Tapi saya gak minta dibuatkan makanan atau minuman tadi," balas Fandi.
"Pak Ruben yang nyuruh."
"Ohh, ya udah kalau gitu, makasih ya."
Sepiring nasi goreng kampung dan es jeruk terhidang dihadapan Fandi. Namun dia teringat dengan Maura yang ada di rumah.
"Kira-kira Maura makan sama apa ya? Biar nanti aku bawakan dia makanan saja dari sini," gumam Fandi.
Lalu Ruben datang saat Fandi tengah menikmati makanannya. Dia duduk dihadapan Fandi yang makanan dengan lahapnya.
"Gimana rasanya, Fan? Lebih enak sekarang 'kan masakannya?" tanya Ruben.
"Iya, Ben. Rasanya lebih mantap," jawab Fandi.
"Juru masak yang di sini bekas orang restorant. Emang sih gajinya agak mahalan dikit, tapi kalau kerjanya bagus 'kan gak masalah," ucap Fandi.
"Emang gak apa-apa kalau rasanya beda sama di Kafe satunya?" tanya Fandi.
"Bedanya 'kan gak begitu mencolok. Tapi emang lebih enak di sini. Nanti biar dikoordinasi lagi soal rasanya. Yang paling penting sekarang kamu bantu aku cari waktress lagi, Fan. Di sini lagi rame banget dan waitressnya cuma ada 3 orang," keluh Ruben.
"Gampang lah kalau itu, ada temanku yang lagi cari kerjaan. Hari ini biar aku aja yang bantu jadi waitress," balas Fandi.
"Oke, kalau gitu aku yang bagian kasir. Soalnya kasirnya yang kemarin keluar," ucap Ruben.
"Tapi aku gak bisa sampai malam. Jam 9 udah harus pulang, Ben. Kamu tahu sendiri istriku lagi hamil. Kasihan kalau ditinggal sampai malam," ucap Fandi.
"Ya aku tahu kalau soal itu. Kamu tenang aja. Ohh ya, uang kemarin gak kurang 'kan?" tanya Ruben.
"Banyak banget malahan. Kamu gak salah hitung 'kan," jawab Fandi.
"Disyukuri aja. Ucapkan 'alhamdulillah' jangan malah bilang salah hitung. Kafe kita ada 2 sekarang. Dan alhamdulillah keduanya sama-sama rame," ucap Ruben.
"Alhamdulillah kalau gitu. Aku bulan ini bakalan bayar rumah yang aku kontrak itu, Ben. Jadi aku dan Maura bisa punya rumah sendiri, gak ngontrak lagi," ucap Fandi.
"Aku ikut senang dengernya, Fan. Perlahan keuangan kita semakin membaik. Semoga terus seperti ini," balas Ruben.
"Aamiin," ucap Fandi.
Selesai makan dan beristirahat, Fandi segera membantu para waitress yang mulai kuwalahan mengantarkan pesanan para pengunjung yang semakin banyak.
Sesekali Fandi beristirahat untuk sekedar minum dan melepas lelah.
Hingga pukul 20.00 Fandi berniat akan pulang. Tapi karena salah satu waitress izin untuk ke kamar mandi sehingga dia membantu mengantar satu makanan di meja yang letaknya paling pojok.
Fandi tak menyangka kalau makanan yang dia antar itu pesanan Dion. Tentu Dion juga ikut terkejut saat tahu kalau Kakaknya yang mengantarkan makanannya.
"Loh, Mas kerja di sini juga jadi waitress?" tanya Dion. Di sampingnya ada Ayu–tunangannya.
"Emm, iya, Dion. Ini silahkan pesanan kamu," jawab Fandi.
"Kakak kamu pekerja keras banget ya, Sayang," sahut Ayu.
"Mas Fandi bukannya pekerja keras, tapi dia lagi banting tulang biar bisa biayai persalinan istrinya. Kalau dia gak kerja double begini, mana bisa dia mencukupi semua kebutuhannya," balas Dion sambil tersenyum mengejek ke arah Fandi.
"Mas Fandi ... Mas Fandi ... heran aku sama kamu, Mas. Kenapa gak jadi pelayan di Restonya Bapak aja? Di sana gajinya jauh lebih besar dibandingkan di sini," sambung Dion.
"Mas lebih nyaman kerja di sini, Dion. Kamu kalau mau kerja di Restonya Bapak ya kerja aja. Gak usah selalu maksa Mas kerja di sana," jawab Fandi yang mulai terpancing emosi.
"Kalau aku bukannya kerja di sana, Mas. Tapi aku salah satu Boss di sana. Semua pegawai Resto hormat sama aku. Dan soal uang, aku dapat bagian yang lumayan besar dari Bapak. Bahkan pernikahanku sama Ayu nanti dari uangku sendiri. Beda sama Mas Fandi yang cuma nikah sederhana sama Mbak Maura," ejek Dion dengan senyuman yang merendahkan.
Fandi mencoba menahan amarahnya yang mulai meluap. Dia tak ingin terjadi keributan di Kafe yang masih dia rintis ini.
Tiba-tiba Ruben datang menghampiri Fandi dan Dion. Dia sudah memperhatikan sejak tadi saat Dion menghina Fandi.
"Fan, ada apa?" tanya Ruben.
"Ohh, ini pasti atasannya Mas Fandi ya? Saya adiknya Mas Fandi," sahut Dion.
"Saya udah tahu kalau kamu adiknya Fandi. Tadi saya dengar sebagian percakapan kalian. Sangat disayangkan seorang adik berkata seperti itu pada Kakak kandungnya sendir," ujar Ruben.
"Memangnya kata-kata saya yang bagian mana yang salah? Yang saya ucapkan tadi kenyataan kok," ucap Dion.
"Tapi kamu—"
"Udah, Ben. Kita masuk aja yuk. Aku juga harus segera pulang. Percuma kita berdebat di sini, nanti gak enak sama para pengunjung," bisik Fandi.
"Dia udah keterlaluan sama kamu, Fan. Kenapa malah dibiarkan terus?" balas Ruben.
"Aku udah biasa. Biar aja dia hina aku sepuasnya sekarang. Nanti saat aku udah sukses, dia tidak akan bisa hina aku lagi," bisik Fandi.
"Mas mau ke belakang dulu. Soalnya bentar lagi mau pulang. Kalian makan aja sepuasnya, nanti kalau kurang nambah aja, gratis," ucap Fandi pada Dion dan Ayu.
"Iya, gratis. Pesan aja makanan sesuka hati kalian," timpal Ruben.
Tanpa menunggu jawaban dari Dion, mereka segera pergi meninggalkannya.
"Eehh tunggu, jadi Mas mau bayarin aku sama Ayu? Sok kaya banget sekarang, uang banyak jadi gak usah sok kaya depanku," teriak Dion.
Semua pengunjung Kafe pun memperhatikannya dan saling berbisik. Ayu yang malu karena tingkah Dion memilih pergi meninggalkan Dion tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Ayu, kamu mau kemana? Sayang! Kita 'kan belum makan. Tunggu aku, Sayang. Biar aku bayar dulu makanannya. Aku gak mau Mas Fandi yang bayarin," teriak Dion sambil mengejar Ayu.
IKUTI CERITA SELANJUTNYA HANYA DI FIZZO (GRATIS SAMPAI TAMAT)
Hak Cipta Milik Penulisnya dan Di lindungi oleh Undang-undang
Post a Comment
Post a Comment